Sejarah Perang Padri Secara Singkat dan Lengkap

Dalam catatan sejarah, Perang Padri adalah salah satu peristiwa yang besar dan menjadi catatan kelam sejarah di Indonesia. Perang ini merupakan perang yang pernah terjadi di Provinsi Sumatera Barat dan sekitarnya. Perang berlangsung cukup lama –atau bahkan sangat lama, dari mulai tahun 1803 hingga 1838 atau selama lebih dari 30 tahun.

Medan perang menyebar ke berbagai daerah yang ada di Sumatera Barat, khususnya Kerajaan Pagar Ruyung. Dari tempat ini, konflik semakin meluas dan memanas hingga menimbulkan efek yang cukup besar di berbagai daerah lainnya.

Apa yang menjadi awal dari Perang Padri ini? Dalam catatan sejarah disebutkan bahwa awal peperangan ini adalah perbedaan prinsip tentang agama dari warga yang ada di Sumatera Barat. Namun, dalam pertengahannya, perang menjadi ajang perlawanan dari pribumi melawan penjajah.

Peperangan yang berubah menjadi usaha melawan penjajah ini merupakan bentuk dari ketidakpuasan warga Padri karena Belanda terlalu ikut campur dalam urusan masyarakat. Ya, dengan menggunakan VOC sebagai media, Belanda memang berusaha untuk menguasai daerah-daerah yang ada di Indonesia, salah satunya adalah Sumatera Barat.

Sejarah Perang Padri

sejarah perang padri
Sejarah Perang Padri

Sejarah Perang Padri tidak berbeda jauh dengan sejarah perang saudara yang dulu cukup sering terjadi di Indonesia pra kemerdekaan. Perang saudara ini, melibatkan sesama penduduk Sumatera Barat yang pada awalnya hidup rukun, damai dan sejahtera.

Apa yang mendasari peperangan tersebut adalah diawali dengan timbulnya perbedaan pendapat antara kelompok ahli agama Islam, yang kemudian disebut dengan kaum Padri dan kaum adat yang bermukim di sekitar Pagar Ruyung. Kaum Padri berpendapat bahwa kebiasaan kaum adat berlawanan dengan hukum Islam.

Beberapa kebiasaan yang dilakukan oleh kaum adat yang berlawanan dengan hukum Islam tersebut diantaranya adalah sabung ayam, judi, menggunakan obat terlarang, mengkonsumsi minuman beralkohol, penggunaan hukum yang tidak adil dalam membagi warisan dan beberapa lainnya.

Padahal, sebelumnya, kaum adat mengatakan bahwa mereka memeluk agama Islam dan berjanji untuk meninggalkan kebiasaan buruk tersebut. Akan tetapi, janji kaum adat tidak ditepati dan justru mereka semakin meluas dalam melakukan hal-hal yang berlawanan tersebut.

Tingkah laku kaum adat yang membangkang dari hukum Islam tersebut membuat kaum Padri menjadi marah. Di batas kesabaran, akhirnya meletus perang saudara pada tahun 1803. Perang saudara tersebut melibatkan sesama Mandai ling dan Minang. Pemimpin kaum Padri adalah Harimau Nan Salapan.

Sementara kaum adat dipimpin oleh Sultan Arifin Muningsyah. Perang tersebut berlangsung alot dan saling menjatuhkan. Namun, sekitar tahun 1833, perang tersebut, yang awalnya merupakan perang saudara, menjadi perang melawan penjajah.

Hal ini dikarenakan pada awalnya, kaum adat terdesak karena tidak mampu menghadapi gebrakan dari kaum Padri dan meminta bantuan pihak Belanda sekitar tahun 1821. Sayangnya, keterlibatan Belanda dalam peperangan tersebut justru membuat perang semakin kacau.

Belanda malah terlalu mencampuri urusan kaum adat sehingga kaum adat pun merasa dirugikan oleh Belanda. Akhirnya, karena berpikir bahwa akan sangat merugikan jika kaum adat melawan kaum Padri dan Belanda, mereka kemudian bergabung dengan kaum Padri dan melawan Belanda.

Kedua kaum ini akhirnya bersatu padu untuk memukul mundur pasukan Belanda. Perang Padri adalah salah satu peperangan melawan penjajah yang mengorbankan beragam hal. Waktu perang yang lama, harta benda yang hilang serta kematian yang banyak adalah hal-hal yang menjadi bagian dari perang ini.

Sayangnya, perjuangan kaum Padri tersebut gagal. Peperangan itu dimenangkan oleh Belanda dan kondisi ekonomi masyarakat hancur.

Sebab Terjadinya Perang Padri

sebab terjadinya perang padri
Sebab Terjadinya Perang Padri

Latar belakang terjadinya Perang Padri dalam catatan sejarah adalah keinginan kaum Padri untuk memperbaiki masalah moral masyarakat yang mukim di kawasan Minangkabau. Haji Sumanik, Haji Miskin dan Haji Piobang waktu itu baru pulang dari Mekah.

Mereka bertiga memiliki misi untuk memperbaiki penggunaan hukum Islam dari kalangan masyarakat. Setelah itu, datanglah Tuanku Nan Renceh yang mendukung keputusan ketiga haji tersebut. Niat mulia yang diutarakan tersebut menarik banyak orang, termasuk tokoh dan juga ulama Minangkabau yang bernama Harimau Nan Salapan. Ia adalah tokoh yang memiliki pengaruh yang sangat besar di Sumatera Barat.

Setelah itu, Harimau Nan Salapan dan Tuanku Lintau kemudian datang menuju ke istana Pagar Ruyung guna bertemu Sultan Arifin Muningsyah dan kaum adat untuk menjelaskan tujuan mereka dan meminta kaum adat untuk menjauhi kebiasaan buruk yang bertentangan dengan hukum islam.

Perundingan dilakukan namun urung mencapai kesepakatan. Bersamaan dengan hal itu, beberapa nagari yang berada di bawah kerajaan Pagar Ruyung mulai kacau dan kondisinya cenderung tidak stabil. Hingga pada akhirnya, tahun 1815, Tuanku Pasaman memimpin kaum Padri untuk menyerang Koto Tengah yang merupakan bagian dari Kerajaan Pagar Ruyung.

Sultan Arifin karena serangan tersebut terpaksa melarikan diri dari ibu kota. Dalam catatannya, Thomas Stamford Raffles mengatakan bahwa ia mengunjungi kerajaan pada tahun 1818 dan hanya melihat puing-puing yang tersisa dari kerajaan yang hangus.

Strategi-Strategi yang Digunakan Kaum Adat, Kaum Padri dan Belanda

  • Strategi kaum Adat: Meminta Bantuan Belanda

Peperangan yang berkobar membutuhkan strategi yang tepat karena kubu yang berperan sama kuatnya. Sebagai lawan dari kaum Padri, kaum Adat menerapkan beberapa strategi yang bertujuan untuk mengalahkan kaum Padri. Adapun salah satu strategi yang digunakan tersebut diantaranya adalah meminta bantuan Belanda.

Kaum Adat lambat menyadari bahwa kekuatan kaum Padri sangat susah untuk dikalahkan. Kaum Padri yang menggunakan semangat agama dalam berperang, memiliki kekuatan yang berlipat-lipat yang membuat kaum Adat akhirnya harus kerepotan.

Karena kewalahan dalam melawan kaum Padri, akhirnya kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda. Pemimpin kaum Adat waktu itu, Sultan Tangkal Alam, berunding dengan Belanda. Padahal, sebenarnya ia tidak berhak menggunakan nama Kerajaan Pagar Ruyung karena bukan merupakan sultan yang sah.

Namun, mereka tetap melaksanakan perjanjian tersebut dan menyetujui beberapa persyaratan dan persetujuan. Karena perjanjian yang dilakukan, Belanda menganggap bahwa Kerajaan Pagar Ruyung menyerah ke Belanda. Pada saat itu, Padang –sebagai bagian Belanda, dipimpin oleh Residen James du Puy. Atas saran dari residen, Sultan Tangkal Alam diangkat oleh Belanda menjadi Regent Tanah Datar.

Sultan Alam menyukai jabatan baru yang ia dapatkan. Padahal, di balik pengangkatannya tersebut, ada misi Belanda untuk menguasai Minangkabau karena cocok untuk ditanami kopi. Pada saat itu, kopi adalah salah satu komoditas penting bagi perdagangan di Eropa.

Belanda yang diundang dan dimintai bantuan oleh kaum Adat mulai beraksi. Mereka mencampuri urusan Sumatera Barat. Mereka memulai penyerangan dan berhasil mengusir kaum Padri dari Pagar Ruyung. Setelah itu, Belanda membangun benteng Fort Van Der Capellen di daerah Batu Sangkar.

  • Strategi Kaum Padri: Gerilya

Kekalahan kaum Padri dari Belanda membuat kaum Padri berpikir untuk menyusun ulang strategi dan melakukan evaluasi terkait perjuangan yang mereka lakukan. Dalam hal ini, kaum Padri lantas mundur ke Lintau untuk mengatur strategi ulang.

Peperangan terus terjadi dan kaum Padri berhasil menerapkan strategi yang lebih baik. Mereka menghalau serangan di Tanjung Alam dan Luhak Agam. Lalu, di Baso, kaum Padri berhasil melukai kapten Belanda hingga meninggal. Dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh, kaum Padri berhasil menekan Belanda kembali ke Batu Sangkar.

Gabungan kaum Adat dan Belanda mulai terdesak. Pada April tahun 1823, Belanda menambah kekuatan serdadu. Belanda menyerang lagi Lintau yang gagal sebelumnya, namun kaum Padri dengan strategi gerilya tidak mudah untuk dikalahkan. Belanda akhirnya terpaksa pulang lagi ke Batu Sangkar.

  • Strategi Belanda: Gencatan Senjata

Belanda sebagai pihak yang diundang dan terlibat dalam peperangan tersebut memiliki strategi yang berbeda. Belanda, karena kondisinya sudah terdesak, melakukan perundingan dengan kaum Padri. Hal ini dikarenakan Belanda menghadapi masalah yang cukup berat karena di waktu bersamaan di Jawa juga bergelora Perang Diponegoro.

Dalam perundingan yang dilakukan, Belanda mengajak kaum Padri untuk gencatan senjata. Kaum Padri yang diwakili oleh Tuanku Imam Bonjol akhirnya menyetujui perjanjian untuk gencatan senjata. Selama masa gencatan senjata tersebut, kubu Padri mulai bekerja.

Tuanku Imam Bonjol memulihkan pasukan kaum Padri dan berhasil merangkul ulang kaum Adat. Akhirnya, persatuan ini menghasilkan konsensus untuk berusaha menerapkan hukum Islam dengan landasan Al Quran di tanah Minangkabau.

Setelah gencatan senjata selesai, Belanda urung berhasil menguasai Minangkabau. Mereka akhirnya mengubah strategi dan bersiap perang kembali. Kali ini, bisa dikatakan bahwa Belanda lebih siap. Hal ini dikarenakan senjata mereka bertambah dan dana perang sudah cair karena Perang Diponegoro sudah usai.

Secara licik Belanda melanggar perjanjian yang disetujui sebelumnya lalu mulai menyerang beberapa daerah di Minangkabau. Penyerangan ini menghasilkan pertempuran yang sengit. Untuk memperkuat pertahanan, Belanda akhirnya membangun benteng Fort de Kock di Bukit Tinggi.

Setelah itu, mereka berhasil menaklukan Luhak Tanah Datar tahun 1831. Dalam peperangan yang berlangsung, Letnan Kolonel Elout mendapatkan bantuan dari Sentot Prawirodirjo. Sentot adalah panglima Diponegoro yang kelihatannya membelot dan balik mendukung Belanda.

Namun, setelah dilihat, ternyata Sentot merupakan mata-mata yang membantu kaum Padri. Akhirnya, ia dibuang ke Bengkulu dan meninggal di sana. Belanda melakukan penyerangan lagi dan dibantu oleh Letnan Kolonel Vermeulen. Jumlah pasukan yang datang bisa dikatakan sangat banyak.

Mereka menyerang beberapa titik vital yang menjadi jantung pertahanan dari kaum Padri. Karena serangan tersebut, akhirnya kaum Padri mulai kewalahan dan mundur ke daerah Bonjol.

Persatuan Kaum Adat – Padri dan Akhir Peperangan

Kesadaran untuk bersatu dari kaum Adat dan Padri sebenarnya sudah terbentuk sejak waktu lama, terutama ketika mengetahui Belanda terlalu ikut campur dalam urusan Sumatera Barat. Oleh karena itu, momen pengkhianatan Belanda menjadi awal persatuan dari kaum Adat dan kaum Padri.

Keduanya menyerang Belanda secara tiba-tiba pada 11 Januari 1833. Belanda menuduh Sultan Tangkal Alam sebagai pengkhianatan dan menangkapnya. Meskipun menyangkal, Sultan Tangkal Alam tetap ditangkap dan akhirnya dibuang di Batavia.

Di titik ini, Belanda menyadari bahwa kedua kaum ini sudah bersatu. Setelah menangkap Sultan Tangkal Alam, Belanda membuat pengumuman dengan nama Plakat Panjang. Pengumuman ini menyatakan bahwa Belanda tidak berniat untuk menguasai Minangkabau, tetapi hanya ingin berdagang. Pribumi pun tidak harus membayar pajak.

Namun, Belanda melanggar pengumuman yang mereka buat sendiri. Mereka akhirnya tetap melakukan penyerangan. Dikarenakan perang yang terlalu lama, maka para petinggi Belanda marah dan memutuskan solusi akhir untuk menggempur Benteng Bonjol.

Serangan yang dilakukan pada tahun 1833 gagal karena strategi gerilya yang dilakukan oleh kaum Padri. Belanda tidak menyerah. Semua pembangunan infrastruktur diarahkan ke Bonjol untuk memperkuat pertahanan. Mereka melakukan serangan ulang yang lebih besar pada tahun 1835 dengan mengarahkan seluruh sumber daya yang dimiliki termasuk pasukan yang sangat besar.

Penyerangan besar-besaran Belanda akhirnya berhasil melemahkan kaum Adat dan Padri. Mereka kabur dan bersembunyi di hutan-hutan. Tuanku Imam Bonjol akhirnya tertangkap dan dibuang ke berbagai daerah di Indonesia dan wafat di tempat pengasingan.

Tertangkapnya Tuanku Imam Bonjol sebagai pemimpin kaum Adat dan Padri membuat kekuatan mereka menjadi sangat lemah. Belanda akhirnya berhasil menguasai Benteng Bonjol pada tahun 1837. Meskipun perang masih berlangsung hingga 1838, namun kekuatan sudah tidak imbang.

Semua perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Adat dan Kaum Padri akhirnya berhasil dipadamkan oleh Belanda. Di akhir perang, Belanda berhasil mengalahkan kedua kaum tersebut dan menguasai Minangkabau.

Demikian beberapa informasi tentang sejarah Perang Padri dan beberapa hal yang terjadi di sekitarnya. Semoga informasi tadi bisa meningkatkan pengetahuan Anda.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.